Benarkah Mobil Listrik Pasti Rendah Karbon?


Net zero carbon emission (NZE) atau emisi karbon net nol merupakan target baru yang ingin dicapai banyak negara di dunia saat ini. Gelombang kecenderungan ini terutama terjadi sejak berakhirnya Konferensi Perubahan Iklim PBB yang kita kenal sebagai COP 26 bulan November 2021 yang lalu di Glasgow.

Mencapai target emisi karbon net nol menuntut terjadinya transisi energi, yaitu perubahan dari sistem energi yang bertumpukan pada penggunaan bahan bakar berbasis fosil yang berkadar karbon tinggi, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam ke sistem yang berbasis pada energi baru dan terbarukan yang berkarbon rendah atau nol, seperti tenaga air, surya, bayu, atau panas bumi.

Salah satu dari berbagai kegiatan atau usaha dalam rangka transisi energi adalah penggunaan kendaraan bertenaga listrik.

Pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia (the World Economic Forum) di Davis 22 – 26 Mei 2022, yang lalu misalnya, Indonesia lewat Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengharapkan negara-negara maju untuk tidak ragu berinvestasi di sektor kendaraan listrik di tanah air sebagai bagian dari percepatan energi transisi.

Benarkah penggunaan kendaraan atau mobil listrik merupakan kegiatan yang mengeluarkan emisi karbon yang rendah?

Kita tahu bahwa mobil listrik digerakan oleh tenaga listrik yang disimpan di baterai dalam mobil tersebut.

Saat bergerak, mobil yang sepenuhnya digerakan oleh tenaga listrik (bukan mobil listrik hibrida), tidak mengeluarkan gas buang atau emisi sama sekali Sama seperti alat-alat elektronik atau alat-alat listrik lainnya yang tidak mengeluarkan emisi apapun saat beroperasi.

Alat-alat elektronik seperti mobil listrik memang tidak mengeluarkan emisi saat beroperasi, namun demikian listrik yang digunakan oleh mobil tersebut dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik.

Nah di pembangkit listrik inilah emisi itu terjadi, terutama berupa emisi gas asam arang atau karbon dioksida (CO2) yang merupakan senyawa yang mempercepat efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.

Naiknya permukaan laut yang mengancam eksistensi daerah-daerah pesisir, mencairnya es di kutub, makin tingginya suhu udara rata-rata maksimum di berbagai tempat di dunia, dan makin seringnya hujan, badai dengan intensitas sangat tinggi adalah salah berbagai contoh dampak perubahan iklim yang nyata harus kita hadapi.

Menurut Purwanto (2019), tenaga listrik di Indonesia dewasa ini 56 persennya dibangkitkan dengan tenaga batu-bara (PLTU), 25 persen oleh pembangkit listrik bertenaga gas alam (PLTG), 8 persen pembangkit listrik berbahan bakar minyak diesel sementara hanya 11 persen saja yang dibangkitkan dengan tenaga air (PLTA) dan panas bumi.

Dengan masih banyaknya persentase batu-bara, dalam pembangkitan tenaga listrik saat ini, tidak heran kalau pembangkitan listrik di Indonesia secara rata-rata melepaskan 840 gram karbon dioksida untuk setiap kilowatt-jam listrik yang dihasilkannya.

Di jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali) yang komposisi pembangkit listrik tenaga batu baranya lebih tinggi dari rata-rata Indonesia, tingkat emisi yang dilepaskan lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 877 gram CO2 per kilowatt-jam.

Lalu berapa emisi CO2 di pembangkitan listrik di Jawa yang diakibatkan oleh sebuah mobil listrik?

Mobil listrik Hyundai Ionic (Campos, 2020) memerlukan efisensi rata-rata sekitar 16 kWh untuk setiap 100 km atau 0,16 kWh per km.

Hal ini berarti bahwa mobil listrik tersebut akan melepaskan emisi sebesar 140 (=0.16 * 877) gram CO2 per kilometer jarak yang ditempuhnya.

Berapa besar emisi CO2 yang dilepaskan kendaraan berbahan bakar bensin?

Dengan memperhitungkan juga emisi saat memproduksi BBM, maka mobil berbahan bakar bensin 1500 cc seperti Toyota Yaris terbaru misalnya “hanya” melepaskan sekitar 150 gram CO2 per kilometernya di jalan bebas hambatan dan Toyota Auris yang berbahan bakar diesel “hanya” sekitar 170 gram CO2 per kilometernya juga di jalan bebas hambatan (Zuccari, et al., 2018).

Jelaslah bahwa perbedaan antara emisi karbon yang dilepaskan sebuah mobil listrik yang melaju di pulau Jawa dibandingkan dengan mobil bensin tidaklah besar. Emisi CO2 kendaraan listrik di Jawa hanya 7 sampai 21 persen lebih kecil dari emisi kendaraan berbahan bakar bensin!

Lalu berapa emisi yang dilepaskan oleh sebuah mobil listrik yang sebentar lagi akan melaju di arena balap mobil Formula-E di sirkuit Ancol di Jakarta?


Menurut situs resmi FIA Formula-E, rata-rata sebuah mobil balap Formula E akan mengonsumsi sekitar 52 kilowatt-jam enerji listrik selama 45 menit perlombaan.

Dengan jarak tempuh rata-rata 85 kilometer, maka dapat kita temukan bahwa untuk setiap kilowatt-jamnya sebuah mobil listrik formula E dapat menempuh 1,6 km saja. Dengan kata lain efisiensi baterai mobil listrik formula E adalah 1,6 km per kilowatt-jam.

Jika pembangkitan listrik PLN di jaringan Jakarta melepaskan 877 gram CO2 per kilowatt-jam maka sebuah mobil listrik formula E akan melepaskan 527 gram CO2 per kilometer alias sekitar 3,5 kali lebih besar dari mobil bensin bervolume mesin 1500 cc!

Balap mobil formula E seperti mobil listrik pada umumnya akan betul-betul ramah lingkungan jika melaju di daerah di mana pembangkitan listriknya sebagian besar menggunakan energi terbarukan.

Misalnya di Paraguay atau di Laos di mana 70 persen sampai 100 persen tenaga listriknya dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga air, atau di Islandia di mana tenaga listriknya nyaris 100 persen dihasilkan dengan tenaga panas bumi.

Dengan kata lain, mobil atau kendaraan listrik hanya akan menjadi kegiatan atau mobilitas rendah karbon jika listrik yang digunakannya dibangkitkan sebagian besar oleh sumber-sumber energi berkarbon rendah alias enerji baru dan terbarukan.

Saat sekitar 60 persen tenaga listrik masih dibangkitkan oleh PLTU berbasis batu bara, tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa mobil listrik adalah moda transportasi rendah karbon.

Jepe Jepe untuk Inspirasiana
28 Mei 2022

Foto: mobil listrik dan fasilitas pengisian dayanya di Kawaguchiko, Jepang (dokpri)

Facebook Comments